9 Desember 2012

Suluk Wujil

Tersebutlah seseorang yang bernama Wujil. berujarlah dia kepada Sang Panembahan Agung, Ratu Wahdat namanya, bersujud pada debu kaki Sang Mahamuni, yang berasrama di Bonang seraya mohon ampun karena ingin diberi keterangan tentang seluk-beluk agama yang terpilih sampai ke rahasia yang sedalam-dalamnya.

Sepuluh tahun Wujil berguru kepada Sang Panembahan Agung, belum mendapatkan ajaran yang penting. adapun asalnya, Wujil berasal dari Maospait sebagai abdi kesayangan raja di Majalangu. tamatlah dipelajari seluruh tata bahasa. kemudian wujil berujar kepada Sang Panembahan Agung yang sangat dihormati dengan mohon ampun.


Sang Wujil sungguh memohon belas kasih dihadapan kaki Sang Jati Wenang menyerahkan hidup-mati. telah makin dikuasai akan semua pelajaran. “sastra arab yang tuan ajarkan, akhirnya pergi sekemauan hati, senantiasa mengikuti kemauan hati. setiap hari bermain topeng, sampai bosan hamba bertingkah laku sebagai badut, dijadikan tumpuan ejekan.”


“Ya, Paduka Sang Panembahan Agung, keterangan tentang ajaran rahasia mengenai huruf tunggal menurut paham pangiwa dan panengen karena masih ada dalam tatanan gending, masih dalam tatanan syair. mengingat kedua hal tersebut, tidak membawa hasil senantiasa mengembara meninggalkan cinta dari majapahit, tidak mendapatkan usada.
Oleh karena itu, hamba pergi pada suatu malam untuk mencari rahasia tentang kesatuan, kesempurnaan dalam semua tingkah laku. hamba datangi setiap orang suci, mencari inti sari kehidupan, titik akhir dari kekuasaan yang sebenarnya, titik akhir dari utara selatan, terbenamnya matahari dan bulan, tertutupnya mata dan keadaan akhir kematian, titik akhir dari ada dan tiada.

Sang Ratu Wahdat tersenyum. “hai anakmas Wujil, betapa kamu gegabah, berujar yang bukan-bukan, terlalu berani hatimu ingin menagih oleh karena besarnya jasamu yang telah diberikan. tidak layak aku disebut orang suci di dunia, jika menjual ajaran membeli ajaran kitab lebih baik aku jangan di panggil Ahli Wahdat.
Siapa saja menjajakan ajaran, bersikap sombong, seolah-olah segala sesuatu, orang tersebut dapat diibaratkan seperti burung bangau yang sedang bertapa di atas air, diam tidak bergerak, pandangannya tajam, berpura-pura alim melihat mangsanya, seperti telur yang tampak putih di luarnya, di dalam bercampur merah.”

Matahari terbenam, hari berganti malam. sang wujil mengumpulkan kayu untuk api unggun di bawah pertapaan sang wiku, di ujung di tepi laut, yang disebut dukuh bonang serta keadaannya sunyi senyap, gersang tiada tumbuhan, buah-buahan yang dapat dimakan, makanannya hanya berupa riak gelombang laut yang menerjang batu-batu karang yang berbentuk gua yang menyeramkan.

Sang Ratu Wahdat berujar pelan:”hai anakmas Wujil, kemarilah segera”. kemudian dipeganglah kucirnya, seraya di usap-usap, diberi anugerah ajaran rahasia,”Wujil dengarlah kata-kata rahasiaku ini. kalaupun karena kata-kataku ini kamu masuk di neraka, saya sendiri yang akan masuk kedalamnya, bukanlah kamu.”
Segera Wujil menyembah. berujarlah ia kepada Sang guru Yang Sangat Mulia (dengan) sangat berterima kasih. “jangan Paduka, lebih baik hamba sang Wujil yang masuk di neraka, biarlah sang Wujil sendiri.”karena semua sudah saling mengetahui maksudnya, guru dan siswa tidak pernah berselisih paham, keduanya selalu kompak.

“Peringatanku padamu, hai anakmas Wujil, berhati-hatilah dalam hidup di dunia, jangan lengah, sembrono dalam tindakan. hendaknya diketahui benar-benar bahwa kamu bukanlah Kesejatian, Kesejatian tersebut bukanlah kamu. siapa saja mengenal diri, semata-mata Yang Widhi. demikianlah jalan yang sebaik-baiknya.
Perihal keunggulan manusia hendaknya diketahui kesejatian salat, bukan ngisa atau magrib, itu hanya dapat disebut sembahyang. kalaupun disebut salat itu karena kembangnya salat daim dan merupakan sopan santun.

Manakah yang disebut dengan sembahyang yang sebenarnya? sebaiknya jangan menyembah jika tidak diketahui siapa (siapa yang disembah). akibatnya akan direndahkan martabatmu. jika kamu tidak tahu akan yang disembah di dunia ini, (maka kamu) seperti menulup burung, pelurunya disebarkan burungnya tidak akan kena, akhirnya menyembah adam sarpin sembahnya gagal total.”
“Dan manakah yang disebut pujian? meskipun orang-orang memuja malam dan siang, jika tidak disertai petunjuk, tidak akan sempurna tindakan tersebut. jika kamu ingin tahu tentang pujaan, sebaiknya kamu tahu akan keluar, yang menunjukan adanya Yang. masuk keluarnya nafas. sebaiknya kau ketahui juga perihal anasir halus yang empat jumlahnya.

Empat anasir tersebut adalah tanah, api, angin, dan air. dahulu kala ketika Adam diciptakan, (adapun) sifatnya ada empat: kahar,jalal, jamal dan kamil yang mengandung sifat-sifat yang jumlahnya ada delapan. sifatnya dalam badan keluar masuk. jika keluar kemana arahnya, jika masuk kemana arahnya.
Tua muda adalah sifat unsur bumi. sifat tersebut hendaknya diketahui. jika tua dimanakah mudanya, jika muda dimanakah tuanya. adapun unsur api itu bersifat kuat dan lemah. jika kuat dimanakah lemahnya jika lemah dimanakah kuatnya, itu harus diketahui. adalagi unsur angin, sifatnya ada dan tiada. jika tiada dimana adanya jika ada dimana tiadanya. adapun unsur air bersifat mati-hidup. jika hidup dimana matinya jika mati kemana arah hidupnya. akan tersesat bila kamu tidak mengetahuinya.”

“Hendaknya diketahui pedoman hidup adalah mengetahui akan dirinya sendiri dan tidak putus-putus memuji. dimana letaknya yang berdoa dan yang dituju dengan doa, jangan sampai kamu tidak mengetahuinya. adapun karenanya orang yang agung mencari pribadinya sendiri ialah (untuk) mengetahui dengan tepat hidup mereka yang sebenarnya, hidup mereka di dunia.

Hendaknya diketahui hidup yang sejati. tubuh ini seluruhnya bagai sangkar, baiklah diketahui burungnya. akan sengsara jika kamu tidak mengetahuinya, hai Wujil, semua tindakanmu tidak mungkin akan berhasil, jika kamu ingin mengetahuinya, perbaikilah dirimu tinggalah disuatu tempat yang sepi, jangan terpengaruh gebyar dunia.
Jangan jauh-jauh kamu mencari pujangga. pujangga tersebut telah ada dalam dirimu, bahkan seluruh dunia telah ada disini. sebagai penerangannya kresna jati dalam dirimu ini. siang malam perhatikan penglihatanmu, apapun kesunyataannya yang tampak ditubuh semuanya ini adalah dari sifat tingkah laku.”
“akan rusak sebenarnya dirimu karena terjadi oleh kemauanmu, maka yang tidak rusak kini harus kau ketahui. kesempurnaan pengetahuan akan tidak rusak, adanya itu merupakan petunjuk adanya. siapa yang tahu hal itu,(maka adanya itu)menjadi pujiannya, karena jarang yang mengetahui ajaran ini, mendapat anugerah yang besar.

Sebaiknya, kini kamu Wujil, kenalilah dirimu sendiri. benar-benar seperti terlentang badanmu itu. Wujil, jika kamu matikan yang mengenal diri, tindakannya tak bosan mengurung. yang mengurung tubuhnya, yang diperhatikan hanyalah kekurangannya, yang diingat terus menerus.
Wujil, yang mengenal diri sendiri, dia mengenal tuhan. tidak bicara jika tiada rahasia yang diajarkannya, ada lagi yang mendapatkan kesunyatan, benar-benar mencari diri sendiri, kata-katanya tak pernah menyimpang dari kesucian, tak pernah keliru dari tempatnya, demikianlah yang disebut jalan kesucian (lampah).”
“Keadaan Tuhan jelas berbeda (dengan keadaan manusia), jernihkanlah Tuhan itu. ada orang yang mengaku tahu, tetapi perilakunya tidak sesuai, ajaran pengendalian nafsu tidak dipatuhi, mengenyampingkan kehidupan yang saleh, orang yang benar-benar mengetahui, kuat mengendalikan hawa nafsu, siang malam memelihara pengelihatannya, tidak pernah tidur.

Demikianlah dasarnya, hai anak mas Wujil supaya dapat mematikan hawa nafsu. jangan hanya mendengar saja, berbenar-benarlah dalam jalan kesucian, kemauan dan keyakinan, jika keduanya telah masuk dan keluarnya tiada kesulitan seperti halnya memotong seruas bambu pikulan, lain halnya dengan orang yang belum mengerti.

Pengelihatannya terbatas karenanya (dia) tidak tampak karena terlalu tidak berbentuk rupanya, tetapi dia tetap ada. menurut ajaran orang orang yang unggul (dia) tidak memiliki tempat tertentu. bila orang berhenti melihat, malah memiliki pengelihatan sejati yang sempurna. melihat penampilan umum yang nampak sebenarnya, melihat wujud yang sejati.”
“Karena tiada bedanya, hai Wujil, karena tertutup oleh gerakan-gerakan. bedanya bukan berasal dari sumbernya. hai Wujil, jangan kau lupakan bahwa sesudah dibicarakan hal itu, Wujil tidak akan ada habisnya. siang malam dibicarakan orang banyak, kitabnya dapat diumpamakan perkutut yang unggul, yang sering digunakan sebagai pemikat.

Sekalipun dibicarakan siang dan malam, jika tidak disertai ajaran yang unggul, tetap tiada manfaatnya. lebih baik orang diam saja. kalaupun orang hendak membicarakannya, apa yang akan dikatakannya, segala gerak hatinya sebenarnya tampak pada matanya. pancaran matanya (menunjukan bahwa ia telah) menerima inti pengetahuan. sebaiknya tahu akan diam dan bicara.

Sebaiknyalah kamu tahu tentang hakikat diam dan bicara. jika kamu tidak tahu itu, itu tiada gunanya. diamnya tiada isinya. jika berbicara jangan dengan suara keras. burung di pohon kanigara berteriak, demikianlah perumpamaannya, tiada artinya. jika menyangkut perkataan rahasia, hai Wujil jangan berbuat seperti orang yang dapat berbicara. demikian kata orang yang telah sempurna.”
“Apa gunanya rupa yang berjaga dimalam hari, orang yang sudah buta matanya, keduanya tiada manfaatnya. jika tidak dituntun untuk melihat kebenaran yang sebenarnya, bagaimana bisa tahu diri sendiri. aku pernah mendengar bahwa asal kesempurnaan itu karena berbicara, tidak boleh tinggal diam.
Bukan karena diam, bukan karena berbicara, Wujil. hai Wujil, bertanyalah kamu kepada orang yang bertapa. sembah dan pujian sebaiknya kamu ketahui. sembah itu bermacam-macam. kata orang yang unggul orang yang memuji sekejap saja itu banyak pengaruh baik, sama dengan orang yang melakukan sembahyang seratus tahun, jika tahu tujuannya.

Siapa saja sudah tahu sarana, pujiannya terus menerus, tidak mengenal waktu. orang yang unggul lain mengatakan bahwa(pujian seperti itu) sama dengan (sembahyang) selama enam puluh tahun. sudah bebas sempurna raganya, tidak terikat oleh waktu, tingkah lakunya di dalam masjid menjadi contoh, bukan seperti burung bangau.”
“Tidak boleh tidak dipercaya, Wujil, sabda pemimpin cahaya dunia ini. Wujil bertanyalah kini. ada orang memuji dimalam dan disiang hari, amat besar pengaruh baik, asal dilakukan menurut aturan. hal itu sama dengan (sembahyang) dua belas tahun. sebaiknya kamu Wujil melakukan tapa jangan sampai gagal.
Ada lagi orang yang sungkem darma bakti sekejap saja sangat besar pengaruh baik asal tahu petunjuknya. (itu) sama dengan (sembahyang) dua belas tahun. disebut tafakur. jika sedang (dalam keadaan) diam kemana arahnya, tanyaklanlah hal itu. siapa yang akan menerangkan naik turunnya diam dan bicara, itu harus diketahui.

Hai Wujil orang yang diam itu lebih baik. demikianlah sembahyang tanpa terputus tanpa terikat waktu. sempurnalah orang itu, tubuhnya tiada yang tertinggal, bahkan termasuk kotoran dan air kencingnya. inilah perjalanan yang sebenarnya. bergurulah secara jelas, pada yang benar-benar mengetahui (tentang) kebenaran. demikianlah pesan utusan Sang Utusan Yang Unggul.”

“Sebaiknya jangan menyembah wahai kamu Wujil, jika tidak kelihatan nyata. sembah dan pujian tiada gunanya. bila yang disembah itu jelas ada dihadapanmu, (maka kamu) adanya sebagai Tuhan, adamu sendiri tiada. demikianlah yang dinamakan diam pada orang yang memuji, menjadi nyata kemauan purba.
Seterusnya bertanyalah kamu lagi karena jarang orang yang mengerti keadaan yang sebenarnya, yaitu perihal tingkah laku itu, jika tidak dikerjakan, bagaimana akan dapat diselesaikan?yang tidak lupa mengerjakan, itu sudah menunjukan bahwa (dia) mendapat anugerah dari Tuhan. , itu menunjukan dosanya, akan terkena kemalangan dan penderitaan.

Seterusnya, wujil, bertanyalah tentang hakikat niat. jangan hanya terbatas pada gagasan. yang menggagas dan menyebut, bukan hal itu yang disebut niat yang sejati. tidak mudah yang disebut dengan salat, sembah dan pujian itu. jika tidak tahu akan siapa yang menerima tugas, yang mendapat denda dengan hal-hal yang bersifat kasar, yang mendapat denda, hukuman mati,dan hukuman cambuk, maka orang ramai mempertengkarkan giliran.”

“Kebaktian yang unggul tidak mengenal waktu. semua tingkah lakunya demikianlah sembahyangnya. diam dan bicara serta segala gerak tubuhnya, tak urung jadi sembah, sampai pada wudunya pun kotoran dan air kencingnya jadi sembah. demikianlah yang dikatakan niat yang sejati, pujian yang tak putus putusnya.
Hai wujil, niat itu lebih penting dari tingkah laku yang banyak. bukan bahasa maupun suara! niat untuk melakukan tindakan itu, yang terungkap pikirannya. sebenarnya niat itu bukan niatnya, (melainkan) niat untuk melakukan tindakan itu, yang terungkap. niat melakukan sembahyang yang tiada bedanya dengan niat merampas.

Hai wujil karenanya orang menjadi sirik kafir karena dikafirkan oleh aturan, (karena ia) mengandalkan segala kepandaiannya. (yang digunakan untuk) saling meyakinkan, terlalu berpegang teguh pada bunyi kata-katanya. sesudah melakukan sembahyang maghrib, ramai saling bertengkar mulut, akhirnya berganti memukul dengan (menggunakan) bajunya sehingga ikat kepalanya terlepas.”
“Pukul memukul di dalam masjid, akhirnya saling marah bersembahyang sendiri sendiri. demikianlah hasil kesesatan karena memegang teguh bunyi tulisan, tidak mengetahui niat yang sebenarnya. demikianlah akibat dari orang yang bingung, laki laki dan perempuan saling berusaha mencari niat yang sebenarnya, tetapi tidak tahu jalannya.

Sebaiknyalah mengendalikan hawa nafsumu, hai wujil. jika sudah kau ikat, jangan terlalu banyak bicara, jangan terlalu memaksakan kemauan, menuruti kemauan pribadi. itu jalan yang sesat, yang diandalkan pendapat sendiri. yang mengagungkan permainan rebananya, tidak urung jika rebananya dibuang ke atas akan saling melempar.”

Hari mulai siang, matahari telah terbit di ufuk timur, kemudian Sang Ratu Wahdat berujar kepada Wujil untuk diutus.” hai Wujil, kamu kuutus, kemarilah kamu cepat. pergilah ke pondok putri. si Satpada itu, segeralah ia kau suruh kemari.” kemudian sang Wujil berangkat, tibalah di pondok putri.
Berujarlah sang Wujil, wahai Gendhuk, aku diutus mengundang kamu, sang panembahan agung yang mengutus.”
Ken Satpada berujar, “hai Wujil apakah maksudnya? pagi pagi benar dipanggil, cemas hatiku.”
“Tidak tahu maksud tugas ini.” berangkatlah satpada segera, telah diharap harapkan oleh sang panembahan agung.
Satpada berangkat sambil bertanya, “hai Wujil, jangan salah paham. Ki Wujil saya bertanya, apa karenanya kamu mendapat nama Ki Wujil?” Wujil berujar di dalam hati “dia ini orang yang cerdik, pertanyaannya sederhana, di balik kesederhanaan itu menyelipkan sesuatu di belakang.”
“Baiklah saya (akan mengatakan) jika (kamu) tidak tahu. karenanya saya disebut Wujil, karena antara nama dan rupa tiada perbedaannya. saya tidak harus mengulang jalan, enam perkara rasa jati sudah hamba jelajahi, Tuan Putri.”
Si Satpada agak kebingungan, “hai Wujil, anda bukanlah ‘wujil’ seperti orang sekarang ini, melainkan berasal dari wilwatikta.”
Segera Wujil dan Satpada tiba, duduk dihadapan sang Guru, (kemudian) menyembah. Yang Mulia bertanya, “apa kabarmu wahai Satpada. ketika kamu datang kemarin dari Jawana?” satpada berujar, “adapun adik paduka, tuanku, Syekh Malaya, bermain topeng di pati, lamanya 7 tujuh hari.”

Sang Ratu Wahdat berujar, “hai Wujil, segeralah kamu mencari tembang teratai segera.”
Tidak dikisahkan, segeralah ia datang. kembang teratai kemudian ditulisi semua daun kembangnya. di dalamnya diisi dengan ‘kembang rambuyut’ yang dibentuk menjadi sumping ‘surengpati’. “berikanlah kembang teratai ini, Wujil kepada adikku Syekh Malaya.” ini adalah sumping untuk orang bermain wayang, orang yang menari topeng pantas memakainya.” Sang Wujil segera berangkat, mohon diri sambil menyembah, berangkatlah ia ke Pati. tidak dikisahkan di jalan. tibalah ia ditempat yang dituju. bertanyalah ia kepada orang2 di desa, kalau kalau mengetahui pemain gambuh yang sangat terkenal, bernama Syekh Malaya.
Yang ditanya segera menjawab, “benar ada seorang yang bernama Syekh Malaya, kini sedang bermaibn topeng di desa Wasana Kidul, banyak orang yang menonton.” Wujil melanjutkan perjalanan, tidak lama sampailah. Syekh Malaya sudah selesai bermain topeng, Wujil pun berdatang sembah memberikan surat.
Kembang teratai segera diterima, segera dibuka, di dalamnya berisi rakitan ‘surengpati’. Syekh Malaya berujar, “kermarilah kamu hai anakmas Wujil. sangatlah indahnya kembang rambuyut yang dibentukmenjadi sumping ‘surengpati’, dirangkai dengan biji saga dihias dengan kembang melati. sangat sayang Sang panembahan Agung.”

Apakah maknanya ‘Surengpati’, hamba tidak tahu, Gusti”. Syekh Malaya berujar, “Hai Wujil rupanya Sang Panembahan Agung di Murya memiliki maksud begini, segala tindakan mencapai istirahat pada ujung kematian, titik akhir penyerahan.”
Teratai itupun berkali kali dipandangi, dibaca, dicampakan dalam hati tulisan itu beserta segala isi hatinya, dirinya terharu, hancur oleh isi tulisan. banyak kiasannya, maknanya indah dan halus. berulang ulang dibacanya. keindahan tulisan, bunyinya berupa bait kakawin, sebagai nyanyian pada akhir surat.
“Ketika Dimas pergi dari rumah sendiri, beribadat(?), bertapa. aku berbenar benar terhadap kata-kataku ingatanku, pikiranku, wahai dimas. kalau Kakanda tersembunyi, mungkin akan pingsanlah pohon kelapa? sebaliknya kesejahteraanlah yang diingatnya, (untuk) yang sungkem darma bakti berpindah pindah. seperti rumput, tumbuh tumbuhan melata, dan pohonlah sedang aku musim kering yang sangat luar biasa mengharapkan hujan.

Seperti kembang yang penuh sari wahai sahabatku, wahai sahabatku, aku ibarat seekor kumbang yang tidak dapat memeroleh bau wanginya. ada kembang yang penuh dengan sari, kumbang, merintih, ingin mendapatkan tepung sarinya.”
Sesudah selesai membaca, teratai dengan tertegun kembang tersebut diletakkannya, diam termenung dalam hatinya bertanya Wujil bertanya, “apakah karenanya diam tidak berbicara? hamba ingin mengetahui kata-kata yang dirangkai dalam surat tersebut.”
“Isi perkataan dari sesembahan(mu) kepergianku ke Mekkah.”

Seterusnya Wujil segera dibawa pulang. pulanglah mereka ke Dhukuh Pagambiran, janda-janda mengikuti semua, Wujil berjalan di belakang. tidak dikisahkan hal ikhwal di jalan, kemudian sampailah di pondok, sudah mulai menyiapkan makanan, Wujil disuruh makan bersama orang banyak. sesudah makan sisanya dibawa kedalam rumah. kemudian mereka bersama-sama mengunyah sirih.

Ketika matahari terbenam, Syekh Malaya berujar, “ Wujil, besok jika kamu pulang, sampaikan segala yang kukatakan nanti. sebaiknya jangan diperhatikan bentuk perkataan, segala perkataanku ini sebaiknyalah disampaikan. sebaiknyalah terlihat sebagai perkataanmu. jangan sampai terlihat sebagai perkataanku, hai wujil sekuatmu.
Karenanya, Wujil mengapa aku kembali ketika pergi ke Mekkah pulang di Malaka, guru pulang di Pase, karenanya Sang Panembahan Agung Kembali, karena disuruh ke Nusa Jawa, yang menyuruh pulang adalah saudaranya yang bernama Maulana Magribi.”

Hendaknya tahu hidup sejati, ibarat sangkar badan semua, baik mengetahui, rusak jika tidak tahu, hai segala lakumu, itu mustahil jadi, jika kamu hendak tahu, perbaikilah badanmu, tunggulah ditempat sepi, jangan sampai ketahuan.
Jangan jauh memeriksa kawi, kawi itu nyata di badan, semua ada disini, sebagai penglihatan, cinta sejati badan itu, siang malam waspada, penglihatan itu, sebagai barang tanda, yang nyaata pada segalanya, dari sifat perilaku.
Memang rusak badannya, jadinya dengan sekehendaknya, yang tak rusak diketahui, sebagai kesempurnaan mata, yang tak rusak keadaan itu, sebagai sembah semedi, memang jarang yang mengetahui, sangat sepi anugerah.
Jikalau engkau ingin mengetahui alam abadi, engkau harus mengenal alam pribadimu. kalau engkau belum mengetahui alam pribadimu, masih jauhlah alam abadi itu dari dirimu.
Kalau engkau sudah mengetahui alam pribadimu, hendaklah kamu mengajarkannya pada yang belum mengetahui.
Jikalau engkau telah mengetahui alam pribadimu, alam abadi itupun menjadi dekat tanpa menyentuhnya, jauh dari dirimu tanpa ada yang membatasinya.
Jikalau engkau belum mengetahui alam pribadimu tanyakanlah kepada yang telah mengetahuinya.
Jikalau engkau belum menemukan ‘kadang’ (saudara) pribadimu, cobalah mawas dirimu sendiri.
Kadang pribadimu itu tidaklah berbeda dengan dirimu sendiri, suka bekerja.

Diambil dari buku: Sejarah Walisongo
Halaman: 57-70, 163
Pengarang: Budiono Hadi Sutrisno
Penerbit: Grha Pustaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar