Nama Dzun Nun mempunyai makna tersendiri, yaitu arti dari namanya adalah ”seseorang yang mempunyai huruf Nun dari mesir”. Huruf Nun ini mempunyai makna tersendiri, sebuah simbol spiritual power. Huruf Nun dimaknai sebagai relasi antara Tuhan dan hambanya, dimana huruf Nun ini mempunyai sebuah titik ditengah dan garis yang melingkarinya. Simbol tersebut dimaknai sebagai sebuah roda kehidupan yang mempunyai titik tujuan sebagai asal, awal dan titik sentral dari kehidupan.
Sang Wali yang Haus Hikmah
Nama lengkap Dzun Nun Al Mishri adalah
Abu Al-Faid Tsauban bin Ibrahim, Ia dilahirkan di Ikhmin, dataran tinggi
Mesir, Pada tahun 180 H/796 M. Dan wafat pada tahun 246 H/856 M dan di
makamkan dekat makam Amr bin Ash dan Uqbah bin Al Harun. Ia adalah
seorang sufi besar dari Mesir, Seorang ahli kimia dan fisika dan dia
juga seorang sufi yang pertama kali menganalisis ma’rifah secara
konsepsional. Sufi agung yang memberikan kontribusi besar terhadap dunia
pemahaman dan pengamalan hidup dan kehidupan secara mendalam antara
makhluk dengan sang pencipta, makhluk dan sesama ini mempunyai nama
lengkap al-Imam al-A’rif al-Sufy al-Wasil Abu al-Faidl Tsauban bin
Ibrahim, dan terkenal dengan Dzunnun al-Misry. Kendati demikian besar
nama yang disandangnya namun tidak ada catatan sejarah tentang kapan
kelahirannya.
Perjalanan Ruhaniah
Ketika si kaya tak juga kenyang dengan bertumpuknya harta. Ketika politisi tak jua puas dengan indahnya kursi. Maka kaum sufi pun selalu haus dengan kedekatan lebih dekat dengan Sang Kekasih sejati. Selalu ada kenyamanan yang berbeda. Selalu ada kebahagiaan yang tak sama.
Maka demikianlah, Dzunnun al-Misri tidak
puas dengan hikmah yang ia dapatkan dari burung kecil tak berdaya itu.
Baginya semuanya adalah media hikmah. Batu, tumbuhan, wejangan para
wali, hardikan pendosa, jeritan kemiskinan, rintihan orang hina semua
adalah hikmah.
Suatu malam, tatkala Dzunnun bersiap-siap
menuju tempat untuk ber-munajat ia berpapasan dengan seorang laki-laki
yang nampaknya baru saja mengarungi samudera kegundahan menuju ke tepi
pantai kesesatan. Dalam senyap laki-laki itu berdoa “Ya Allah Engkau
mengetahui bahwa aku tahu ber-istighfar dari dosa tapi tetap
melakukannya adalah dicerca. Sungguh aku telah meninggalkan istighfar,
sementara aku tahu kelapangan rahmatmu. Tuhanku… Engkaulah yang memberi
keistimewaan pada hamba-hamba pilihan-Mu dengan kesucian ikhlas.
Engkaulah Zat yang menjaga dan menyelamatkan hati para auliya’ dari
datangnya kebimbangan. Engkaulah yang menentramkan para wali, Engkau
berikan kepada mereka kecukupan dengan adanya seseorang yang
bertawakkal. Engkau jaga mereka dalam pembaringan mereka, Engkau
mengetahui rahasia hati mereka. Rahasiaku telah terkuak di hadapan-Mu.
Aku di hadapan-Mu adalah orang lara tiada asa”. Dengan khusyu’ Dzunnun
menyimak kata demi kata rintihan orang tersebut. Ketika dia kembali
memasang telinga untuk mengambil hikmah di balik ratapan lelaki itu,
suara itu perlahan menghilang sampai akhirnya hilang sama sekali di
telan gulitanya sang malam namun menyisakan goresan yang mendalam di
hati sang wali ini.
Di saat yang lain ia bercerita pernah
mendengar seorang ahli hikmah di lereng gunung Muqottom. ” Aku harus
menemuinya ” begitu ia bertekad kemudian. Setelah menempuh perjalanan
yang cukup melelahkan ia pun bisa menemukan kediaman lelaki misterius.
Selama 40 hari mereka bersama, merenungi hidup dan kehidupan, memaknai
ibadah yang berkualitas dan saling tukar pengetahuan. Suatu ketika
Dzunnun bertanya: “Apakah keselamatan itu?”. Orang tersebut menjawab
“Keselamatan ada dalam ketakwaan dan al-Muroqobah (mengevaluasi diri)”.
“Selain itu ?”. pinta Dzunnun seperti kurang puas. “Menyingkirlah dari
makhluk dan jangan merasa tentram bersama mereka!”. “Selain itu ?” pinta
Dzunnun lagi. “Ketahuilah Allah mempunyai hamba-hamba yang
mencintai-Nya. Maka Allah memberikan segelas minuman kecintaan. Mereka
itu adalah orang-orang yang merasa dahaga ketika minum, dan merasa segar
ketika sedang haus”. Lalu orang tersebut meninggalkan Dzunnun al-Misri
dalam kedahagaan yang selalu mencari kesegaran cinta Ilahi.
Kealiman Dzun Nunal-Misri
Betapa indahnya ketika ilmu berhiaskan
tasawuf. Betapa mahalnya ketika tasawuf berlandaskan ilmu. Dan betapa
agungnya Dzunnun al-Misri yang dalam dirinya tertata apik kedalaman ilmu
dan keindahan tasawuf. Nalar siapa yang mampu membanyah hujjahnya. Hati
mana yang mampu berpaling dari untaian mutiara hikmahnya. Dialah orang
Mesir pertama yang berbicara tentang urutan-urutan al-Ahwal dan
al-Maqomaat para wali Allah.
Maslamah bin Qasim mengatakan “Dzunnun
adalah seorang yang alim, zuhud wara’, mampu memberikan fatwa dalam
berbagai disiplin ilmu. Beliau termasuk perawi Hadits”. Hal senada
diungkapkan Al-Hafidz Abu Nu’aim dalam Hilyah-nya dan al-Dzahabi dalam
Tarikh-nya bahwasannya Dzunnun telah meriwayatkan hadits dari Imam
Malik, Imam Laits, Ibn Luha’iah, Fudhail ibn Iyadl, Ibn Uyainah, Muslim
al-Khowwas dan lain-lain. Adapun orang yang meriwayatkan hadis dari
beliau adalah al-Hasan bin Mus’ab al-Nakha’i, Ahmad bin Sobah
al-Fayyumy, al-Tho’i dan lain-lain. Imam Abu Abdurrahman al-Sulamy
menyebutkan dalam Tobaqoh-nya bahwa Dzunnun telah meriwayatkan hadis
Nabi dari Ibn Umar yang berbunyi ” Dunia adalah penjara orang mu’min dan
surga bagi orang kafir”.
Di samping lihai dalam ilmu-ilmu Syara’,
sufi Mesir ini terkenal dengan ilmu lain yang tidak digoreskan dalam
lembaran kertas, dan datangnya tanpa sebab. Ilmu itu adalah ilmu Ladunni
yang oleh Allah hanya khusus diberikan pada kekasih-kekasih-Nya saja.
Karena demikian tinggi dan luasnya ilmu
sang wali ini, suatu ketika ia memaparkan suatu masalah pada orang di
sekitarnya dengan bahasa Isyarat dan Ahwal yang menawan. Seketika itu
para ahli ilmu fiqih dan ilmu ‘dhahir’ timbul rasa iri dan dan tidak
senang karena Dzunnun telah berani masuk dalam wilayah (ilmu fiqih)
mereka. Lebih-lebih ternyata Dzunnun mempunyai kelebihan ilmu Robbany
yang tidak mereka punyai. Tanpa pikir panjang mereka mengadukannya pada
Khalifah al-Mutawakkil di Baghdad dengan tuduhan sebagai orang Zindiq
yang memporak-porandakan syari’at. Dengan tangan dirantai sufi besar ini
dipanggil oleh Khalifah bersama murid-muridnya. “Benarkah engkau ini
zahidnya negeri Mesir?”. Tanya khalifah kemudian. “Begitulah mereka
mengatakan”. Salah satu pegawai raja menyela : “Amir al-Mu’minin senang
mendengarkan perkataan orang yang zuhud, kalau engkau memang zuhud ayo
bicaralah”.
Dzunnun menundukkan muka sebentar lalu
berkata “Wahai amiirul mukminin…. Sungguh Allah mempunyai hamba-hamba
yang menyembahnya dengan cara yang rahasia, tulus hanya karena-Nya.
Kemudian Allah memuliakan mereka dengan balasan rasa syukur yang tulus
pula. Mereka adalah orang-orang yang buku catatan amal baiknya kosong
tanpa diisi oleh malaikat. Ketika buku tadi sampai ke hadirat Allah SWT,
Allah akan mengisinya dengan rahasia yang diberikan langsung pada
mereka. Badan mereka adalah duniawi, tapi hati adalah samawi…….”.
Dzunnun meneruskan mauidzoh-nya sementara
air mata Khalifah terus mengalir. Setelah selesai berceramah, hati
Khalifah telah terpenuhi oleh rasa hormat yang mendalam terhadap
Dzunnun. Dengan wibawa khalifah berkata pada orang-orang datang
menghadiri mahkamah ini : “Kalau mereka ini orang-orang Zindiq maka
tidak ada seorang muslim pun di muka bumi ini”. Sejak saat itu Khalifah
al-Mutawaakil ketika disebutkan padanya orang yang Wara’ maka dia akan
menangis dan berkata “Ketika disebut orang yang Wara’ maka marilah kita
menyebut Dzunnun”.
Kesabaran Dzun Nun al-Misri
Dzun Nun al-Misri mempunyai seorang anak
perempuan yang sangat saleh. Ketika putrinya masih sangat muda, dia
bersama bapaknya ke laut dan menjala ikan. Dzun Nun masuk ke air, dan
putrinya menunggu di bibir pantai. Setelah beberapa lama menebar jala,
tak satupun ikan yang dapat, namun pada akhirnya, dia mendapatkan ikan
besar yang tersangkut di jalanya. Ketika Dzun Nun siap memasukkan ikan
hasil tangkapannya itu ke dalam wadah ikan, putrinya segera mengambil
ikan itu dan melepaskannya kembali ke dalam air laut. Ikan itu berenang
menjauh ke tengah laut.
Dzun Nun kaget dan bertanya pada putrinya, “Mengapa engkau membuang
ikan hasil tangkapan kita?” “Aku menyaksikan ikan itu tengah menggerakan
mulutnya. Aku lihat dia sedang berzikir dan menyebut nama Allah. Aku
tidak mau memakan mahluk yang berzikir kepada Allah.” Jawab anaknya.
Putri Dzun Nun memegang tangan Bapaknya seraya berkata, “Bersabarlah,
Bapak. Kita seharusnya berserah diri kepada Allah. Sesungguhnya Dia
akan memberi rizki kepada kita”.
Mereka berdua kemudian shalat di tepi
pantai dan tawakkal kepada Allah. Hingga sore hari. Akhirnya mereka
pulang ke rumah. Setelah sholat isya’, tempat makan mereka penuh dengan
makanan. Makanan itu dikirim oleh Allah untuk mereka. Setiap hari,
selama lebih dari sebelas tahun. Sampai pada suatu hari ketika anaknya
meninggal dunia, mendahului bapaknya, saat itu pula, makanan itu sudah
tidak ada lagi di tempat makanan. Dia akhirnya sadar bahwa, kesabaran
anaknya itu membuahkan kasih sayang Allah padanya.
Kunci kesabaran di sini adalah berserah
pada kuasa Allah, tak ada yang akan kelaparan dan mati di dunia secara
sia-sia. Allah akan memberikan rizki pada semua manusia, bahkan dengan
tawakkal, sabar dan berserah diri pada Allah, Dia tidak akan membiarkan
Hambanya terlantar dan menderita.
Dalam suasana krisis seperti ini, harapan
dan usaha perlu diseimbangkan. Sabar tidak membuat manusia
malas-malasan dan hanya berserah diri, namun sabar adalah benteng untuk
menahan diri menghabiskan isi bumi dengan serakah. Semua harus berusaha
dan berupaya agar dapat melanjutkan hidup dan kuat terhadap apa yang
terjadi.
Pujian para ulama’ terhadap Dzun-Nun
Tidak ada maksud paparan berikut ini
supaya Dzunnun al-Misri menjadi lebih terpuji. Sebab apa yang dia
harapkan dari pujian makhluk sendiri ketika Yang Maha Sempurna sudah
memujinya. Apa artinya sanjungan berjuta manusia dibanding belaian kasih
Yang Maha Penyayang ?. Dan hanya dengan harapan semoga semua menjadi
hikmah dan manfaat bagi semua paparan berikut ini hadir.
Imam Qusyairy dalam kitab Risalah-nya
mengatakan “Dzunnun adalah orang yang tinggi dalam ilmu ini (Tasawwuf)
dan tidak ada bandingannya. Ia sempurna dalam Wara’, Haal, dan adab”.
Tak kurang Abu Abdillah Ahmad bin Yahya al-Jalak mengatakan “Saya telah
menemui 600 guru dan aku tidak menemukan seperti keempat orang ini :
Dzunnun al-Misry, ayahku, Abu Turob, dan Abu Abid al-Basry”. Seperti
berlomba memujinya sufi terbesar dan ternama Syaikh Muhiddin ibn Araby
Sulton al-Arifin dalam hal ini mengatakan “Dzunnun telah menjadi Imam,
bahkan Imam kita”.
Pujian dan penghormatan pada Dzunnun
bukan hanya diungkapkan dengan kata-kata. Imam al-Munawi dalam
Tobaqoh-nya bercerita : “Sahl al-Tustari (salah satu Imam tasawwuf yang
besar) dalam beberapa tahun tidak duduk maupun berdiri bersandar pada
mihrab. Ia juga seperti tidak berani berbicara. Suatu ketika ia
menangis, bersandar dan bicara tentang makna-makna yang tinggi dan
Isyaraat yang menakjubkan. Ketika ditanya tentang ini, ia menjawab “Dulu
waktu Dzunnun al-Misri masih hidup, aku tidak berani berbicara tidak
berani bersandar pada mihrab karena menghormati beliau. Sekarang beliau
telah wafat, dan seseorang berkata padaku padaku : berbicaralah!! Engkau
telah diberi izin”.
Cinta dan ma’rifat
Suatu ketika Dzunnun ditanya seseorang :
“Dengan apa Tuan mengetahui Tuhan?”. “Aku mengetahui Tuhanku dengan Tuhanku “,jawab Dzunnun. “kalau tidak ada Tuhanku maka aku tidak akan
tahu Tuhanku”. Lebih jauh tentang ma’rifat ia memaparkan : “Orang yang
paling tahu akan Allah adalah yang paling bingung tentang-Nya”.
“Ma’rifat bisa didapat dengan tiga cara: dengan melihat pada sesuatu
bagaimana Dia mengaturnya, dengan melihat keputusan-keputusan-Nya,
bagaimana Allah telah memastikannya. Dengan merenungkan makhluq,
bagaimana Allah menjadikannya”.
Tentang cinta ia berkata : “Katakan pada
orang yang memperlihatkan kecintaannya pada Allah, katakan supaya ia
berhati-hati, jangan sampai merendah pada selain Allah!. Salah satu
tanda orang yang cinta pada Allah adalah dia tidak punya kebutuhan pada
selain Allah”. “Salah satu tanda orang yang cinta pada Allah adalah
mengikuti kekasih Allah Nabi Muhammad SAW dalam akhlak, perbuatan,
perintah dan sunnah-sunnahnya”. “Pangkal dari jalan (Islam) ini ada pada
empat perkara: “cinta pada Yang Agung, benci kepada yang Fana,
mengikuti pada Alquran yang diturunkan, dan takut akan tergelincir
(dalam kesesatan)”.
Karomah Dzun Nunal-Misri
Imam al-Nabhani dalam kitabnya “Jamial-karamaat “ mengatakan: “Diceritakan dari Ahmad bin Muhammad
al-Sulami: “Suatu ketika aku menghadap pada Dzunnun, lalu aku melihat di
depan beliau ada mangkuk dari emas dan di sekitarnya ada kayu menyan
dan minyak Ambar. Lalu beliau berkata padaku “engkau adalah orang yang
biasa datang ke hadapan para raja ketika dalam keadaan bergembira”.
Menjelang aku pamit beliau memberiku satu dirham. Dengan izin Allah uang
yang hanya satu dirham itu bisa aku jadikan bekal sampai kota Balkh
(kota di Iran).
Suatu hari Abu Ja’far ada di samping
Dzunnun. Lalu mereka berbicara tentang ketundukan benda-benda pada
wali-wali Allah. Dzunnun mengatakan “Termasuk ketundukan adalah ketika
aku mengatakan pada ranjang tidur ini supaya berjalan di penjuru empat
rumah lalu kembali pada tempat asalnya”. Maka ranjang itu berputar pada
penjuru rumah dan kembali ke tempat asalnya.
Imam Abdul Wahhab al-Sya’roni mengatakan:
“Suatu hari ada perempuan yang datang pada Dzunnun lalu berkata “Anakku
telah dimangsa buaya”. Ketika melihat duka yang mendalam dari perempuan
tadi, Dzunnun datang ke sungai Nil sambil berkata “Ya Allah… keluarkan
buaya itu”. Lalu keluarlah buaya, Dzunnun membedah perutnya dan
mengeluarkan bayi perempuan tadi, dalam keadaan hidup dan sehat.
Kemudian perempuan tadi mengambilnya dan berkata “Maafkanlah aku, karena
dulu ketika aku melihatmu selalu aku merendahkanmu. Sekarang aku
bertaubat kepada Allah SWT”.
Pemuda Yang Berjalan Diatas Air
Diantara cerita yang diriwayatkan
mengenai para kekasih Allah atau wali Allah adalah cerita yang
diberitakan oleh Zin-Nun rahimahullah, katanya :
Suatu ketika, saya berlayar untuk
pergi keseberang laut untuk mencari sesuatu barang yang saya perlukan
dari sana. Saya pun menempah suatu tempat disebuah kapal. Ketika
waktu itu kapal akan berangkat saya lihat penumpang penumpang yang
menaiki kapal tersebut dan banyak sekali, yang kebanyakan datang
dari tempat yang jauh, sehingga kapal itu penuh sesak dengan penumpang.
Saya terus mengamati wajah wajah
penumpang itu, dan saya lihat diantaranya ada seorang pemuda yang sangat tampan rupanya, wajahnya bersinar dan dia duduk ditempatnya
dalam keadaan tenang sekali tidak seperti penumpang penumpang lain, terus
mundar mandir diatas kapal itu. Udara diatas kapal itu agak panas, dan juga bertambah panas disebabkan terlalu
banyak penumpang yang berhimpit diantara satu dengan yang lain.
Pada mulanya kapal itu belayar dengan
lancar sekali, karena lautnya tenang tidak bergelombang,
dan angin pun tidak bertiup kencang, kecuali sekali sekala saja, dan
kalau ada pun hanya ombak ombak kecil biasa dihadapinya.
Dalam keadaan yang begitu tenang diatas
kapal itu, tiba tiba kami dikejutkan oleh suatu pemberitahuan umum yang
mengatakan bahawa nakhoda kapal itu telah kehilanggan suatu barang
sangat berharga, dan hendaklah semua penumpamn penumpang kapal duduk
ditempat masing masing, karena pengeledahan akan di laksanakan tidak
lama lagi untuk mencari barang yang hilang itu.
Kini para penumpang kapal riuh berbicara antara satu dengan yang lain mengenai barang yang hilang itu.
Masing masing mencoba mengeluarkan pendapat seperti apa barang yang
hilang itu. Saya sendiri merasa heran bagaimana barang nakhoda itu bisa
hilang ? Apa kah dicuri orang ? atau pun barangkali terjatuh karena
manusia diatas kapal itu terlalu banyak.
Sebentar lagi nakhoda kapal mengumumkan:
‘semua penumpang hendaklah berada ditempatnya. Sekarang kami akan mulai penggeledahan !’
Pengeledahan pun dimulakan oleh beberapa
orang pegawai kapal itu. Penumpang-penumpang itu semuanya ribut , baik
lelaki mau pun wanitnya. Mereka digeledah satu satu.
Begitu pula tempat tidur mereka digeledah, kalau kalau
barang itu disembunyikan dicelah-celah tempat tidurnya. Namun barang itu masih belum ditemukan. Akhirnya sampailah giliran tempat si pemuda tampan
untuk digeledah. Pada mulanya pemuda itu duduk ditempatnya dengan
tenang sekali . tetapi oleh karena dia orang yang terakhir yang
diperiksa , maka muka muka orang ramai seolah olah memperhatikannya. Mungkin ada orang yang mengatakan didalam hatinya,
barangkali pemuda inilah yang mencuri barang itu. Apabila pemuda itu
dikasari oleh pegawai pegawai kapal itu dalam pemeriksaanya lalu dia
melompat ketepi seraya berkata: ‘ saya bukan pencuri, kenapa saya
diperlakukan begitu kasar?’ Lantaran pemuda itulah satu satunya orang yang
membantah, maka disangka pegawai pegawai kapal itu dialah pencuri
barang itu. Mereka mau menangkapnya, maka pemuda itu pun meronta lalu
menerjunkan diri kemuka laut. Orang ramai menyerbu kepinggir kapal
hendak melihat pemuda yang terjun kedalam laut itu. Yang mengherankan
bahwa pemuda itu tidak tengelam, malah dia duduk dimuka laut itu,
sebagaimana dia duduk diatas kursi dan tidak tengelam. Pemuda itu lalu
berkata dengan suara yang keras:
‘Ya Tuhanku ! Mereka sekaian menuduh ku
sebagai pencuri ! Demi Zat Mu , wahai Tuhan Pembela orang yang teraniaya !
Perintahkan lah kiranya semua ikan ikan dilaut ini supaya timbul dan
membawa dimulutnya permata permata yang berharga !’
Penumpang penumpang terus menatap
pandangannya kelaut sekitar kapal itu ingin melihat jika benar ikan
ikan itu akan timbul membawa dimulut nya permata permata yang berharga?
saya juga ikut sama memerhatikan permukaan air itu.
Memang benar , dengan kuasa Allah ,
permintaan pemuda itu dikabulkan Tuhan, timbul disekitar kapal itu
beribu ribu ikan dan kelihatan dimulut mulutnya batu batu putih dan
merah berkilauan cahayanya , hingga membuat mata mata yang memandangnya
silau kerananya. Semua orang disitu bersorak menepuk tangan kepada
pemuda itu.
Saya terus tercengang, tidak dapat berkata apa apa pun. Nakhoda kapal
dan pegawai pegawai kapal itu bingung, seolah olah dia tidak percaya apa
yang dilihatnya.
‘Apakah kamu masih menuduhku mencuri,
padahal perbendaharaan Allah ada ditangan ku, jika aku mau boleh aku
ambil ?’ Pemuda itu kemudiannya memerintahkan ikan ikan itu supaya
kembali ketempatnya, maka tengelamlah semuanya ikan ikan tadi, dan
orang orang diatas kapal itu terus besorak lagi.
Pemuda itu lalu berdiri diatas air itu, kemudian berjalan diatasnya
secepat kilat sementara lisannya terus mengucapkan : surah
Al-fatihah: 4
‘Hanya kepada Mu lah aku menyembah , dan hanya kepada Mu pula aku meminta bantuan.’’
Dia terus menjauhi kami, sehingga hilang
dari pandangan kami. Saya sama sekali tidak menduga , bahwa pemuda ini
kemungkinan sekali termasuk kedalam golongan ahli Allah, yang pernah
diterangkan oleh Rasulullah s.a.w. dalam sabdanya yang berbunyi :
“akan tetap ada dalam umat ku sebanyak
tiga puluh orang lelaki, hati hati mereka sepadan dengan hati Nabi Allah
Ibrahim a.s. setiap mati seorang di antara mereka, diganti Allah
seorang lain ditempatnya.”
Tukang emas lah yang tahu harga emas
Seorang pemuda mendatangi Zun-Nun dan
bertanya, “Guru, saya tak mengerti mengapa orang seperti Anda mesti
berpakaian apa adanya, amat sangat sederhana. Bukankah di masa seperti
ini berpakaian sebaik-baiknya amat perlu, bukan hanya untuk penampilan
melainkan juga untuk banyak tujuan lain.”
Sang sufi hanya tersenyum. Ia lalu melepaskan cincin dari salah satu
jarinya, lalu berkata, “Sobat muda, akan kujawab pertanyaanmu, tetapi
lebih dahulu lakukan satu hal untukku. Ambillah cincin ini dan bawalah
ke pasar di seberang sana. Bisakah kamu menjualnya seharga satu keping
emas?”
Melihat cincin Zun-Nun yang kotor, pemuda tadi merasa ragu, “Satu
keping emas? Saya tidak yakin cincin ini bisa dijual seharga itu.”
“Cobalah dulu, sobat muda. Siapa tahu kamu berhasil.”
Pemuda itu pun bergegas ke pasar. Ia
menawarkan cincin itu kepada pedagang kain, pedagang sayur, penjual
daging dan ikan, serta kepada yang lainnya. Ternyata, tak seorang pun
berani membeli seharga satu keping emas. Mereka menawarnya hanya satu
keping perak. Tentu saja, pemuda itu tak berani menjualnya dengan harga
satu keping perak. Ia kembali ke padepokan Zun-Nun dan melapor, “Guru,
tak seorang pun berani menawar lebih dari satu keping perak.”
Zun-Nun, sambil tetap tersenyum arif,
berkata, “Sekarang pergilah kamu ke toko emas di belakang jalan ini.
Coba perlihatkan kepada pemilik toko atau tukang emas di sana. Jangan
buka harga, dengarkan saja bagaimana ia memberikan penilaian.”
Pemuda itu pun pergi ke toko emas yang dimaksud. Ia kembali kepada
Zun-Nun dengan raut wajah yang lain. Ia kemudian melapor, “Guru,
ternyata para pedagang di pasar tidak tahu nilai sesungguhnya dari
cincin ini. Pedagang emas menawarnya dengan harga seribu keping emas.
Rupanya nilai cincin ini seribu kali lebih tinggi daripada yang ditawar oleh para pedagang di pasar.”
Zun-Nun tersenyum simpul sambil berujar
lirih, “Itulah jawaban atas pertanyaanmu tadi sobat muda. Seseorang tak
bisa dinilai dari pakaiannya. Hanya “para pedagang sayur, ikan dan
daging di pasar” yang menilai demikian. Namun tidak bagi “pedagang
emas”.
“Emas dan permata yang ada dalam diri
seseorang, hanya bisa dilihat dan dinilai jika kita mampu melihat ke
kedalaman jiwa. Diperlukan kearifan untuk menjenguknya. Dan itu butuh
proses, wahai sobat mudaku. Kita tak bisa menilainya hanya dengan tutur
kata dan sikap yang kita dengar dan lihat sekilas. Seringkali yang
disangka emas ternyata logam dan yang kita lihat sebagai logam
ternyata emas.”
Ingin
Seorang yang berharap diterima sebagai murid berkata kepada pada Dhu
al-Nun, “Saya ingin bergabung dalam Jalan Kebenaran melebihi apapun di
dunia ini.”
Dan inilah yang dikatakan Dhu al-Nun
kepadanya: “Kau boleh ikut serta dalam kafilah kami jika kau terima dua
hal lebih dulu. Yang pertama, kau harus melakukan hal-hal yang tak ingin
kau lakukan. Kedua, kau tidak akan diizinkan melakukan hal-hal yang
ingin kau lakukan.
Ingin adalah apa yang berdiri di antara manusia dan Jalan Kebenaran.”
Kasih Tuhan Tak Berbatas
Suatu hari, Dzun nun hendak mencuci pakaian di tepi sungai Nil.
Tiba-tiba ia melihat seekor kalajengking yang sangat besar. Binatang itu
mendekati dirinya dan segera akan menyengatnya.
Dihinggapi rasa cemas, Dzunnun memohon perlindungan kepada Allah swt
agar terhindar dari cengkeraman hewan itu. Ketika itu pula, kalajengking
itu membelok dan berjalan cepat menyusuri tepian sungai.
Dzunnun pun mengikuti di belakangnya.
Tidak lama setelah itu, si kalajengking terus berjalan mendatangi pohon
yang rindang dan berdaun banyak. Di bawahnya, berbaring seorang pemuda
yang sedang dalam keadaan mabuk. Si kalajengking datang mendekati pemuda
itu. Dzunnun merasa khawatir kalau-kalau kalajengking itu akan membunuh
pemuda mabuk itu.
Dzunnun semakin terkejut ketika melihat
di dekat pemuda itu terdapat seekor ular besar yang hendak menyerang
pemuda itu pula. Akan tetapi yang terjadi kemudian adalah di luar dugaan
Dzunnun. Tiba-tiba kalajengking itu berkelahi melawan ular dan
menyengat kepalanya. Ular itu pun tergeletak tak berkutik.
Sesudah itu, kalajengking kembali ke
sungai meninggalkan pemuda mabuk di bawah pohon. Dzunnun duduk di sisi
pemuda itu dan melantunkan syair, Wahai orang yang sedang terlelap,
ketahuilah, Yang Maha Agung selalu menjaga dari setiap kekejian yang
menimbulkan kesesatan. Mengapa si pemilik mata boleh sampai tertidur?
Padahal mata itu dapat mendatangkan berbagai kenikmatan.
Pemuda mabuk itu mendengar syair Dzunnun
dan bangun dengan terperanjat kaget. Segera Dzunnun menceritakan
kepadanya segala yang telah terjadi.
Setelah mendengar penjelasan Dzunnun,
pemuda itu sadar. Betapa kasih sayang Allah sangat besar kepada
hambanya. Bahkan kepada seorang pemabuk seperti dirinya, Allah masih
memberikan perlindungan dan penjagaan-Nya
Sumber: Artikel terkait.
Semoga bermanfa'at...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar