Ringkasan cerita
Di hutan Banjar hidup seekor babi putih yang bertapa terus-menerus selama puluhan tahun. Ia bertapa karena ingin mempunyai seorang anak perempuan berupa manusia. Pada suatu waktu babi hutan itu pergi ke sebuah lapangan dekat Sungai Citanduy. Di situ ia menemukan air pada sebuah batok kelapa muda. Karena merasa sangat haus, ia minum air itu. Ternyata air itu air seni Prabu Ratu Galuh. Sehingga tak lama kemudian, babi putih itu mengandung.
Sesudah sampai waktunya ia melahirkan seorang anak perempuan wujud manusia yang
sangat cantik parasnya. Anak itu ada yang namainya Dayang Sumbi atau Nyai Rarasati.
Nyai Dayang Sumbi sesudah besar, ia menanyakan siapa ayahnya kepada ibunya. Semula pertanyaan itu tidak dijawab, tetapi karena ditanyakan berulang-ulang akhirnya diberi tahu juga, yaitu Prabu Ratu Galuh. Nyai Dayang Sumbi bermaksud menghadap Prabu Ratu Galuh, ayahnya.
Dalam perjalanan ke Karang Kamulyan, kraton tempat tinggal ayahnya, Nyai Dayang Sumbi diantar oleh ibunya. Akan tetapi, pada saat ia meloncat sungai Citanduy, ibunya, babi putih, mati seketika. Nyai Dayang Sumbi diakui anak oleh Prabu Ratu Galuh yang waktu itu sedang berada di Bojonglopang.
Nyai Dayang Sumbi ditempatkan oleh ayahnya di Bojonglopang. Ia dipertemukan dengan para tukang tenun dan disuruh belajar menenun kain. Dalam waktu singkat Nyai Dayang Sumbi telah pandai menenun kain. Segera ia diberi tempat tersendiri oleh ayahnya, berupa bangunan panggung yang tinggi (saung ranggon) di dalam hutan. Ia hanya ditemani oleh Belang Wiyungyang, seekor anjing.
Suara alat tenun Nyai Dayang Sumbi sangat menarik perhatian para penduduk di sekitar hutan tempat tinggalnya. Pada suatu hari ketika ia sedang asyik menenun, tiba-tiba alat tenunnya (teropong) jatuh. Karena merasa segan turun buat mengambil alat tenun yang jatuh, ia berbicara sendiri bahwa jika alat tenun itu ada yang mengambil, mungkin yang mengambil akan dijadikan suami. Tak lama kemudian, si Belang Wiyungyang menyerahkan alat tenun yang jatuh. Nyai Dayang Sumbi kaget dan mengira bahwa anjing itu merupakan binatang jadian.
Sesudah duduk selama lima tahun di tempat itu, Nyai Dayang Sumbi merasa penat sekali dan tertidurlah ia di tempat menenun. Posisi tidurnya memungkinkan kemaluannya tampak dari luar. Hal itu mendorong si Belang Wiyungyang timbul birahi dan menyetubuhinya. Akibatnya, Nyai Dayang Sumbi mengandung dan melahirka seorang anak laki-laki dan dinamai Sangkuriang.
Sangkuriang mempunyai kesenangan berburu. Dalam berburu itu ia ditemani oleh Belang Wiyungyang. Semua binatang di hutan-hutan tak ada yang berani melawan anjing Belang Wiyungyang. Lama kelamaan binatang di dalam hutan berkurang jumlahnya, bahkan hampir habis.
Singa, raja du kalangan binatang, bermusyawarah dengan sesamanya, membicarakan cara penangkapan anjing Belang Wiyungyang yang merusak keluarga mereka. Menteri Lingsang Parana (sero) mengusulkan dan berpendapat bahwa yang dapat mengalahkan anjing itu hanyalah si Pukang yang sedang bertapa di dalam gua di Gunung Ceremai. Akan tetapi, usaha itu dilaksanakan oleh Penggiling Bentik yang sanggup mengalahkan si Belang Wiyungyang, tidak dengan melawan Belang Wiyungyang, tetapi dengan cara mengganggu keluarga Sangkuriang.
Si Belang Wiyungyang mengetahui ada binatang yang bersembunyi di dalam rumahnya dan khawatir akan membunuh Nyai Dayang Sumbi. Sewaktu dibawa berburu oleh Sangkuriang. Belang Wiyungyang tidak bersungguh-sungguh menunaikan tugasnya. Sebentar-sebentar ia lari ke rumahnya, padahal binatang buruan semakin jarang. Sangkuriang marah terhadap Belang Wiyungyang sehingga anjing itu di tombak sampai mati. Badan anjing itu di kubur di situ, kecuali hatinya diambil dan dibawa pulang diserahkan kepada ibunya untuk dimasak.
Nyai Dayang Sumbi marah sekali terhadap Sangkuriang ketika diberi tahu bahwa hati yang dimasak itu adalah anjing si Belang Wiyungyang. Ia memburu Sangkuriang, lalu di pukul kepalanya dengan senduk (alat masak) sehingga terluka dan mengeluarkan darah. Sangkuriang merasa takut dan melarikan diri sambil menangis. Dalam pelariannya Sangkuriang sampai ke negara Siluman (makhluk halus).
Nyai Dayang Sumbi merasa menyesal telah memukul anaknya. Kini ia tinggal sebatang kara. Kemudian ia pun pergi dari situ ke arah barat dengan maksud mencari anaknya. Di Gunung Halimun ia berjumpa dengan seorang pertapa, raja dari kalangan jin. Di tempat ini ia mendapat pelajaran berbagai macam ilmu. Atas petunjuk pendeta jin itu, Nyai Dayang Sumbi kembali lagi ke arah timur dari perjalanannya dan tibalah ia di daerah Ukur Bandung.
Di negara jin Sangkuriang bertemu dengan seorang pendeta berbentuk ular yang berasal dari Galuh juga. Di situ Sangkuriang diajari berbagai ilmu antara lain ilmu Tumbul Muda (ilmu yang memungkinkan pemiliknya ditaati oleh jin dan makhluk halus lainnya) dan ilmu Alam Kombala Geni (ilmu yang memungkinkan setan dan raksasa takluk dan tunduk kepada pemiliknya). Sangkuriang diberi gelar batara oleh pendeta itu dan disuruh melanjutkan perjalanan lagi.
Perjalanan Batara Sangkuriang sampai ke negara makhluk halus lain (siluman-siluman). Tanpa melalui peperangan seluruh makhluk di situ takluk dan tunduk kepadanya. Begitu pula sewaktu Batara Sangkuriang sampai ke negara raksasa dan setan, semua raksasa dan setan tunduk dan taat kepadanya. Jadi, bermacam-macam bangsa makhluk halus tunduk dan taat kepada Batara Sangkuriang. Bangsa manusia sendiri tidak ada yang menjadi pengikutnya sebab pada waktu itu jumlah manusia belum begitu banyak, baru ada 39 orang putra Ratu Galuh dan 27 orang putra Raja Pajajaran yang menjadi cikal bakal penduduk Pulau Jawa. Selanjutnya, ditambah oleh pendatang, yaitu orang Arab, Inggris, Malayu dan orang asing lainnya.
Batara Sangkuriang telah 39 tahun lamanya mengembara. Ia tiba di Banten, kemudian kembali ke arah timur dan sampailah di tanah Ukur, Bandung. Ia naik ke Gunung Bohong, di daerah Cimahi sekarang. Sesampainya di puncak gunung, ia menjumpai seorang wanita cantik. Ketika ditanya, ia mengaku sedang mengembara dan bernama Dewi Artati atau Rarasati. Batara Sangkuriang meminta agar wanita itu mau diperistri. Wanita itu diberi hadiah cincin yang sebenarnya cincin itu pemberian Nyai Dayang Sumbi, ibu Sangkuriang, dengan janji bila cocok pada seorang wanita, dialah calon istrinya. Pada waktu dipakai oleh Dayang Sumbi cincin itu cocok sekali. Oleh karena itu, keduanya bergembira dan saling jatuh cinta, lalu mereka berkencan di situ. Kutu Batara Sangkuriang diambil oleh Rarasati, tetapi ternyata kepala Batara Sangkuriang botak dan teringatlah Rarasati bahwa Nyai Dayang Sumbi pacarnya itu, adalah anaknya sendiri.
Rarasati menyatakan penolakan terhadap Batara Sangkuriang, tetapi Batara Sangkuriang memaksanya. Untuk itu, Rarasati mengajukan syarat berupa permintaan agar Batara Sangkuriang membendung tanah Bandung dan Paregreg sehingga menjadi laut, kemudian agar dibuatkan perahu untuk berlayar. Pekerjaan itu harus diselesaikan Batara Sangkuriang selama satu malam.
Dengan bantuan pasukan makhluk halus dan raksasa, Batara Sangkuriang hampir dapat merampungkan pekerjaannya. Ketika Rarasati menyaksikan permintaannya hampir terkabul, dia menjadi takut. Segera ia memotong-motong kain boeh larang (kain putih suci), kemudian potongan-potongan kain itu dilemparkan ke sekeliling tempat itu. Keluarlah cahaya dari potongan kain itu sehingga keadaan menjadi seperti telah siang. Dengan kejadian itu, batalah perjanjian Batara Sangkuriang dengan Rarasati. Mereka tidak jadi menikah.
Rarasati membuka rahasia kepada Batara Sangkuriang. Rarasati mengaku anak kepada Batara Sangkuriang dan sebaliknya Sangkuriang mengaku ibu kepada Rarasati. Keduanya pulang kembali ke Galuh.
Di hutan Banjar hidup seekor babi putih yang bertapa terus-menerus selama puluhan tahun. Ia bertapa karena ingin mempunyai seorang anak perempuan berupa manusia. Pada suatu waktu babi hutan itu pergi ke sebuah lapangan dekat Sungai Citanduy. Di situ ia menemukan air pada sebuah batok kelapa muda. Karena merasa sangat haus, ia minum air itu. Ternyata air itu air seni Prabu Ratu Galuh. Sehingga tak lama kemudian, babi putih itu mengandung.
Sesudah sampai waktunya ia melahirkan seorang anak perempuan wujud manusia yang
sangat cantik parasnya. Anak itu ada yang namainya Dayang Sumbi atau Nyai Rarasati.
Nyai Dayang Sumbi sesudah besar, ia menanyakan siapa ayahnya kepada ibunya. Semula pertanyaan itu tidak dijawab, tetapi karena ditanyakan berulang-ulang akhirnya diberi tahu juga, yaitu Prabu Ratu Galuh. Nyai Dayang Sumbi bermaksud menghadap Prabu Ratu Galuh, ayahnya.
Dalam perjalanan ke Karang Kamulyan, kraton tempat tinggal ayahnya, Nyai Dayang Sumbi diantar oleh ibunya. Akan tetapi, pada saat ia meloncat sungai Citanduy, ibunya, babi putih, mati seketika. Nyai Dayang Sumbi diakui anak oleh Prabu Ratu Galuh yang waktu itu sedang berada di Bojonglopang.
Nyai Dayang Sumbi ditempatkan oleh ayahnya di Bojonglopang. Ia dipertemukan dengan para tukang tenun dan disuruh belajar menenun kain. Dalam waktu singkat Nyai Dayang Sumbi telah pandai menenun kain. Segera ia diberi tempat tersendiri oleh ayahnya, berupa bangunan panggung yang tinggi (saung ranggon) di dalam hutan. Ia hanya ditemani oleh Belang Wiyungyang, seekor anjing.
Suara alat tenun Nyai Dayang Sumbi sangat menarik perhatian para penduduk di sekitar hutan tempat tinggalnya. Pada suatu hari ketika ia sedang asyik menenun, tiba-tiba alat tenunnya (teropong) jatuh. Karena merasa segan turun buat mengambil alat tenun yang jatuh, ia berbicara sendiri bahwa jika alat tenun itu ada yang mengambil, mungkin yang mengambil akan dijadikan suami. Tak lama kemudian, si Belang Wiyungyang menyerahkan alat tenun yang jatuh. Nyai Dayang Sumbi kaget dan mengira bahwa anjing itu merupakan binatang jadian.
Sesudah duduk selama lima tahun di tempat itu, Nyai Dayang Sumbi merasa penat sekali dan tertidurlah ia di tempat menenun. Posisi tidurnya memungkinkan kemaluannya tampak dari luar. Hal itu mendorong si Belang Wiyungyang timbul birahi dan menyetubuhinya. Akibatnya, Nyai Dayang Sumbi mengandung dan melahirka seorang anak laki-laki dan dinamai Sangkuriang.
Sangkuriang mempunyai kesenangan berburu. Dalam berburu itu ia ditemani oleh Belang Wiyungyang. Semua binatang di hutan-hutan tak ada yang berani melawan anjing Belang Wiyungyang. Lama kelamaan binatang di dalam hutan berkurang jumlahnya, bahkan hampir habis.
Singa, raja du kalangan binatang, bermusyawarah dengan sesamanya, membicarakan cara penangkapan anjing Belang Wiyungyang yang merusak keluarga mereka. Menteri Lingsang Parana (sero) mengusulkan dan berpendapat bahwa yang dapat mengalahkan anjing itu hanyalah si Pukang yang sedang bertapa di dalam gua di Gunung Ceremai. Akan tetapi, usaha itu dilaksanakan oleh Penggiling Bentik yang sanggup mengalahkan si Belang Wiyungyang, tidak dengan melawan Belang Wiyungyang, tetapi dengan cara mengganggu keluarga Sangkuriang.
Si Belang Wiyungyang mengetahui ada binatang yang bersembunyi di dalam rumahnya dan khawatir akan membunuh Nyai Dayang Sumbi. Sewaktu dibawa berburu oleh Sangkuriang. Belang Wiyungyang tidak bersungguh-sungguh menunaikan tugasnya. Sebentar-sebentar ia lari ke rumahnya, padahal binatang buruan semakin jarang. Sangkuriang marah terhadap Belang Wiyungyang sehingga anjing itu di tombak sampai mati. Badan anjing itu di kubur di situ, kecuali hatinya diambil dan dibawa pulang diserahkan kepada ibunya untuk dimasak.
Nyai Dayang Sumbi marah sekali terhadap Sangkuriang ketika diberi tahu bahwa hati yang dimasak itu adalah anjing si Belang Wiyungyang. Ia memburu Sangkuriang, lalu di pukul kepalanya dengan senduk (alat masak) sehingga terluka dan mengeluarkan darah. Sangkuriang merasa takut dan melarikan diri sambil menangis. Dalam pelariannya Sangkuriang sampai ke negara Siluman (makhluk halus).
Nyai Dayang Sumbi merasa menyesal telah memukul anaknya. Kini ia tinggal sebatang kara. Kemudian ia pun pergi dari situ ke arah barat dengan maksud mencari anaknya. Di Gunung Halimun ia berjumpa dengan seorang pertapa, raja dari kalangan jin. Di tempat ini ia mendapat pelajaran berbagai macam ilmu. Atas petunjuk pendeta jin itu, Nyai Dayang Sumbi kembali lagi ke arah timur dari perjalanannya dan tibalah ia di daerah Ukur Bandung.
Di negara jin Sangkuriang bertemu dengan seorang pendeta berbentuk ular yang berasal dari Galuh juga. Di situ Sangkuriang diajari berbagai ilmu antara lain ilmu Tumbul Muda (ilmu yang memungkinkan pemiliknya ditaati oleh jin dan makhluk halus lainnya) dan ilmu Alam Kombala Geni (ilmu yang memungkinkan setan dan raksasa takluk dan tunduk kepada pemiliknya). Sangkuriang diberi gelar batara oleh pendeta itu dan disuruh melanjutkan perjalanan lagi.
Perjalanan Batara Sangkuriang sampai ke negara makhluk halus lain (siluman-siluman). Tanpa melalui peperangan seluruh makhluk di situ takluk dan tunduk kepadanya. Begitu pula sewaktu Batara Sangkuriang sampai ke negara raksasa dan setan, semua raksasa dan setan tunduk dan taat kepadanya. Jadi, bermacam-macam bangsa makhluk halus tunduk dan taat kepada Batara Sangkuriang. Bangsa manusia sendiri tidak ada yang menjadi pengikutnya sebab pada waktu itu jumlah manusia belum begitu banyak, baru ada 39 orang putra Ratu Galuh dan 27 orang putra Raja Pajajaran yang menjadi cikal bakal penduduk Pulau Jawa. Selanjutnya, ditambah oleh pendatang, yaitu orang Arab, Inggris, Malayu dan orang asing lainnya.
Batara Sangkuriang telah 39 tahun lamanya mengembara. Ia tiba di Banten, kemudian kembali ke arah timur dan sampailah di tanah Ukur, Bandung. Ia naik ke Gunung Bohong, di daerah Cimahi sekarang. Sesampainya di puncak gunung, ia menjumpai seorang wanita cantik. Ketika ditanya, ia mengaku sedang mengembara dan bernama Dewi Artati atau Rarasati. Batara Sangkuriang meminta agar wanita itu mau diperistri. Wanita itu diberi hadiah cincin yang sebenarnya cincin itu pemberian Nyai Dayang Sumbi, ibu Sangkuriang, dengan janji bila cocok pada seorang wanita, dialah calon istrinya. Pada waktu dipakai oleh Dayang Sumbi cincin itu cocok sekali. Oleh karena itu, keduanya bergembira dan saling jatuh cinta, lalu mereka berkencan di situ. Kutu Batara Sangkuriang diambil oleh Rarasati, tetapi ternyata kepala Batara Sangkuriang botak dan teringatlah Rarasati bahwa Nyai Dayang Sumbi pacarnya itu, adalah anaknya sendiri.
Rarasati menyatakan penolakan terhadap Batara Sangkuriang, tetapi Batara Sangkuriang memaksanya. Untuk itu, Rarasati mengajukan syarat berupa permintaan agar Batara Sangkuriang membendung tanah Bandung dan Paregreg sehingga menjadi laut, kemudian agar dibuatkan perahu untuk berlayar. Pekerjaan itu harus diselesaikan Batara Sangkuriang selama satu malam.
Dengan bantuan pasukan makhluk halus dan raksasa, Batara Sangkuriang hampir dapat merampungkan pekerjaannya. Ketika Rarasati menyaksikan permintaannya hampir terkabul, dia menjadi takut. Segera ia memotong-motong kain boeh larang (kain putih suci), kemudian potongan-potongan kain itu dilemparkan ke sekeliling tempat itu. Keluarlah cahaya dari potongan kain itu sehingga keadaan menjadi seperti telah siang. Dengan kejadian itu, batalah perjanjian Batara Sangkuriang dengan Rarasati. Mereka tidak jadi menikah.
Rarasati membuka rahasia kepada Batara Sangkuriang. Rarasati mengaku anak kepada Batara Sangkuriang dan sebaliknya Sangkuriang mengaku ibu kepada Rarasati. Keduanya pulang kembali ke Galuh.
Written by: jalupangna
Wawasan spiritual dan blogging, Updated at: 03.03
0 komentar: