“Tetaplah bergerak, sebab di balik frustasi ada
prestasi, dan di balik masalah ada solusi. Biarkan kakimu melangkah
menuju kesuksesan hakiki”.
Allah berfirman :
“
Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan
kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka
siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah
itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin
bertawakkal”. Q.S. Ali ‘Imran [3] ayat 160.
Bertawakal
yang baik tidak hanya diekspresikan setelah kita berusaha, tetapi
meliputi keseluruhannya baik ketika AKAN, SEDANG, maupun SETELAH
berusaha.
Allah berfirman :
“ . . . . .
apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” :
Q.S. Ali ‘Imran [3] ayat 159.
“Dan memberinya rezeki dari arah
yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada
Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. . . .” : Q.S.
Ath-Talaq [65] ayat 3.
Firman Allah : ” Wa tawakkal ‘Alallahi
wakafaa billahi wakilla ” (Dan bertawakallah kepada Allah dan cukup
Allah sebagai pemelihara segala urusan) A.Q.S. 3:3.
Sabda Rasulullah : ” Ikatlah untamu dan bertawakallah ” ( R. Ibnu Hibban ).
Jadi,
yang namanya tawakal itu sudah dimulai sejak kita membulatkan tekad,
yaitu sejak kita menetapkan impian-impian kita. Dan senantiasa
bertawakal ketika kita sedang berusaha mengejar impian-impian itu,
maupun setelah berusaha.
TAWAKAL ADALAH PERINTAH ALLAH
Ber-tawakal
kepada Allah ( tawakkal ‘Alallah ), merupakan perintah yang banyak
terdapat dalam Al-Qur’an, di samping perintah-perintah lainnya seperti
bertaqwa, bersabar, beristiqomah, ikhlas dan beribadah, ridho dalam
menerima ketetapan Tuhan, berlaku adil, berjihad pada jalan-Nya,
berkurban dan lain-lain.
Di antara perintah-perintah yang
terpokok dan terutama sekali adalah perintah untuk ber-IBADAH
kepada-Nya. Oleh karena itulah maka TUGAS POKOK manusia di dunia ini
tidak lain beribadah kepada-Nya sebagai mana ditegaskan oleh-Nya :
” Wamaa kholaktul jinna wal insa illa liya’buduuni ”
( Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan semata-mata
supaya mereka menyembah-Ku/beribadah kepada-Ku ) A.Q.S. 51:56.
ARTI DAN MAKNA TAWAKAL
Tawakal
artinya BERSERAH DIRI DAN BERPEGANG TEGUH KEPADA ALLAH. Di sini
terdapat dua unsur pokok yaitu, pertama berserah diri dan kedua
berpegang teguh. Kedua-duanya merupakan kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Tidak dapat dikatakan tawakal kalau belum berserah diri
secara ikhlas. Tidak dapat pula dikatakan tawakal kalau belum berpegang
kepada-Nya, belum kokoh atau belum bulat pada tingkat haqqul yakin
kepada kekuasaan-Nya yang tidak terbatas, keadilan-Nya,
kebijaksanaan-Nya, kasih sayang-Nya untuk mengatur segala sesuatu
dengan sesempurna-sempurnanya.
Jalan meraih sukses dengan pasti
adalah dengan bertakwa dan bertawakkal pada Allah subhanahu wa ta’ala.
Ayat yang bisa menjadi renungan bagi kita bersama adalah firman Allah
Ta’ala,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (2)
وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى
اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah
niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezki
dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang
bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.”
(QS. Ath Tholaq: 2-3)
Hakekat Tawakkal
Tawakkal
berasal dari kata “wukul”, artinya menyerahkan/ mempercayakan. Seperti
dalam kalimat disebutkan “وَكَّلْت أَمْرِي إِلَى فُلَان”, aku
menyerahkan urusanku pada fulan. Sedangkan yang dimaksud dengan
tawakkal adalah berkaitan dengan keyakinan.[1]
Berdasarkan
keterangan dari Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah, hakekat tawakkal
adalah benarnya penyandaran hati pada Allah ‘Azza wa Jalla untuk meraih
berbagai kemaslahatan dan menghilangkan bahaya baik dalam urusan dunia
maupun akhirat, menyerahkan semua urusan kepada-Nya serta meyakini
dengan sebenar-benarnya bahwa ‘tidak ada yang memberi, menghalangi,
mendatangkan bahaya, dan mendatangkan manfaat kecuali Allah semata’.[2]
Keutamaan Tawakkal
Pertama: Tawakkal sebab diperolehnya rizki
Ibnu
Rajab mengatakan, ”Tawakkal adalah seutama-utama sebab untuk
memperoleh rizki”.[2] Sebagaimana Allah Ta’ala sebutkan dalam
firman-Nya,
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.” (QS. Ath Tholaq: 3).
Kedua: Diberi kecukupan oleh Allah
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca surat Ath Tholaq ayat 3
kepada Abu Dzar Al Ghifariy. Lalu beliau berkata padanya,
لَوْ أَنَّ النَّاسَ كُلَّهُمْ أَخَذُوْا بِهَا لَكَفَتْهُمْ
“Seandainya semua manusia mengambil nasehat ini, itu sudah akan mencukupi mereka.”[3]
Yaitu seandainya manusia betul-betul bertakwa dan bertawakkal, maka
sungguh Allah akan mencukupi urusan dunia dan agama mereka.[4]
Ibnu Jarir Ath Thobari rahimahullah ketika menjelaskan surat Ath Tholaq ayat 3 mengatakan,
“Barangsiapa
yang bertakwa pada Allah dengan menjalankan perintah-Nya dan
menyandarkan hatinya pada-Nya, maka Allah akan memberi kecukupan
bagi-Nya.”[5]
Al Qurtubhi rahimahullah menjelaskan pula tentang surat Ath Tholaq ayat 3 dengan mengatakan,
“Barangsiapa yang menyandarkan dirinya pada Allah, maka Allah akan beri kecukupan pada urusannya.”[6]
Asy Syaukani rahimahullah menjelaskan,
“Barangsiapa menyerahkan urusannya pada Allah, maka Allah akan berikan kecukupan pada urusannya.”[7]
Syaikh As Sa’di rahimahullah menjelaskan pula,
“Barangsiapa
yang menyandarkan diri pada Allah dalam urusan dunia maupun agama
untuk meraih manfaat dan terlepas dari kemudhorotan, dan ia pun
menyerahkan urusannya pada Allah, maka Allah yang akan mencukupi
urusannya. Jika urusan tersebut diserahkan pada Allah Yang Maha
Mencukupi (Al Ghoni), Yang Maha Kuat (Al Qowi), Yang Maha Perkasa (AL
‘Aziz) dan Maha Penyayang (Ar Rohim), maka hasilnya pun akan baik dari
cara-cara lain. Namun kadang hasil tidak datang saat itu juga, namun
diakhirkan sesuai dengan waktu yang pas.”[8] Masya Allah suatu keutamaan yang sangat luar biasa sekali dari orang yang bertawakkal.
Ketiga: Masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab
Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَدْخُلُ
الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِى سَبْعُونَ أَلْفًا بِغَيْرِ حِسَابٍ ، هُمُ
الَّذِينَ لاَ يَسْتَرْقُونَ ، وَلاَ يَتَطَيَّرُونَ ، وَعَلَى رَبِّهِمْ
يَتَوَكَّلُونَ
“Tujuh puluh ribu orang dari umatku akan masuk
surga tanpa hisab. Mereka adalah orang-orang yang tidak minta
diruqyah, tidak beranggapan sial dan mereka selalu bertawakkal pada
Rabbnya.”[9]
Merealisasikan Tawakkal
“Dalam
merealisasikan tawakkal tidaklah menafikan melakukan usaha dengan
melakukan berbagai sebab yang Allah Ta’ala tentukan. Mengambil sunnah
ini sudah menjadi sunnatullah (ketetapan Allah yang mesti dijalankan).
Allah Ta’ala memerintahkan untuk melakukan usaha disertai dengan
bertawakkal pada-Nya,” demikian penuturan Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah selanjutnya[10].
Jadi intinya, dari penjelasan beliau ini dalam merealisasikan tawakkal haruslah terpenuhi dua unsur:
- Bersandarnya hati pada Allah.
- Melakukan usaha.
Inilah
cara merealisasikan tawakkal dengan benar. Tidak sebagaimana anggapan
sebagian orang yang menyangka bahwa tawakkal hanyalah menyandarkan hati
pada Allah, tanpa melakukan usaha atau melakukan usaha namun tidak
maksimal. Tawakkal tidaklah demikian.
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah mengatakan,
“Usaha
dengan anggota badan dalam melakukan sebab adalah suatu bentuk
ketaatan pada Allah. Sedangkan bersandarnya hati pada Allah adalah
termasuk keimanan.”[11]
Tawakkal Haruslah dengan Usaha
Berikut
di antara dalil yang menunjukkan bahwa tawakkal tidak mesti
meninggalkan usaha, namun haruslah dengan melakukan usaha yang
maksimal.
Dari Umar bin Al Khoththob radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ
أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ
كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصاً وَتَرُوحُ بِطَاناً
“Seandainya
kalian betul-betul bertawakkal pada Allah, sungguh Allah akan
memberikan kalian rizki sebagaimana burung mendapatkan rizki. Burung
tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore
harinya dalam keadaan kenyang.”[12]
Al Munawi mengatakan,
”Burung itu pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali ketika
sore dalam keadaan kenyang. Namun, usaha (sebab) itu bukanlah yang
memberi rizki, yang memberi rizki adalah Allah Ta’ala. Hal ini
menunjukkan bahwa tawakkal tidak harus meninggalkan usaha. Tawakkal
haruslah dengan melakukan berbagai usaha yang akan membawa pada hasil
yang diinginkan. Karena burung saja mendapatkan rizki dengan usaha.
Sehingga hal ini menuntunkan pada kita untuk mencari rizki.”[13]
Ibnu ‘Allan mengatakan bahwa As Suyuthi mengatakan, “Al Baihaqi mengatakan dalam Syu’abul Iman:
Hadits
ini bukanlah dalil untuk duduk-duduk santai, enggan melakukan usaha
untuk memperoleh rizki. Bahkan hadits ini merupakan dalil yang
memerintahkan untuk mencari rizki karena burung tersebut pergi di pagi
hari untuk mencari rizki. Jadi, yang dimaksudkan dengan hadits ini
–wallahu a’lam-: Seandainya mereka bertawakkal pada Allah Ta’ala dengan
pergi dan melakukan segala aktivitas dalam mengais rizki, kemudian
melihat bahwa setiap kebaikan berada di tangan-Nya dan dari sisi-Nya,
maka mereka akan memperoleh rizki tersebut sebagaimana burung yang pergi
pagi hari dalam keadaan lapar, kemudian kembali dalam keadaan kenyang.
Namun ingatlah bahwa mereka tidak hanya bersandar pada kekuatan,
tubuh, dan usaha mereka saja, atau bahkan mendustakan yang telah
ditakdirkan baginya. Karena ini semua adanya yang menyelisihi
tawakkal.”[14]
Imam Ahmad pernah ditanyakan mengenai seorang yang
kerjaannya hanya duduk di rumah atau di masjid. Orang yang duduk-duduk
tersebut pernah berkata,
”Aku tidak mengerjakan apa-apa. Rizkiku pasti akan datang sendiri.” Imam Ahmad lantas mengatakan,
”Orang ini sungguh bodoh. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda,
إِنَّ اللَّه جَعَلَ رِزْقِي تَحْت ظِلّ رُمْحِي
”Allah menjadikan rizkiku di bawah bayangan tombakku.”[15]
Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
“Seandainya
kalian betul-betul bertawakkal pada Allah, sungguh Allah akan
memberikan kalian rizki sebagaimana burung mendapatkan rizki. Burung
tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore
harinya dalam keadaan kenyang”. Disebutkan dalam hadits ini bahwa
burung tersebut pergi pada waktu pagi dan kembali pada waktu sore dalam
rangka mencari rizki. Para sahabat pun berdagang. Mereka pun mengolah
kurma. Yang patut dijadikan qudwah (teladan) adalah mereka (yaitu para
sahabat).[16]
Allah subhanahu wa ta’ala dalam beberapa ayat juga menyuruh kita agar tidak meninggalkan usaha sebagaimana firman-Nya,
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ
”Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang.” (QS. Al Anfaal: 60).
Juga firman-Nya,
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah.” (QS. Al Jumu’ah: 10). Dalam ayat-ayat ini terlihat jelas bahwa kita dituntut untuk melakukan usaha.
Meraih Sukses dengan Menempuh Sebab yang Benar
Sahl
At Tusturi rahimahullah mengatakan, ”Barangsiapa mencela usaha
(meninggalkan sebab) maka dia telah mencela sunnatullah (ketentuan yang
Allah tetapkan). Barangsiapa mencela tawakkal (tidak mau bersandar pada
Allah) maka dia telah meninggalkan keimanan.”[17]
Dari
keterangan Sahl At Tusturi ini menunjukkan bahwa jangan sampai kita
meninggalkan sebab. Namun dengan catatan kita tetap bersandar pada
Allah ketika mengambil sebab dan tidak boleh bergantung pada sebab
semata.
Oleh karena itu, perlu diperhatikan bahwa dalam mengambil
sebab ada tiga kriteria yang mesti dipenuhi. Satu kriteria berkaitan
dengan sebab yang diambil. Dua kriteria lainnya berkaitan dengan orang
yang mengambil sebab.
Kriteria pertama: Berkaitan dengan sebab yang diambil. Yaitu sebab yang diambil haruslah terbukti secara syar’i atau qodari.
Secara syar’i, maksudnya adalah benar-benar ditunjukkan dengan dalil Al Qur’an atau hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Contoh:
Dengan minum air zam-zam, seseorang bisa sembuh dari penyakit. Sebab
ini adalah sebab yang terbukti secara syar’i artinya ada dalil yang
menunjukkannya yaitu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut air zam-zam,
إِنَّهَا مُبَارَكَةٌ إِنَّهَا طَعَامُ طُعْمٍ
“Sesungguhnya air zam-zam adalah air yang diberkahi, air tersebut adalah makanan yang mengenyangkan.”[18]
Ditambahkan
dalam riwayat Abu Daud (Ath Thoyalisiy) dengan sanad jayyid (bagus)
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
وَشِفَاءُ سُقْمٍ
“Air zam-zam adalah obat dari rasa sakit (obat penyakit).”[19]
Begitu
pula disebutkan dalam hadits lainnya, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَاءُ زَمْزَمَ لِمَا شُرِبَ لَهُ
“Khasiat air zam-zam sesuai keinginan orang yang meminumnya.”[20]
Secara
qodari, maksudnya adalah secara sunnatullah, pengalaman dan penelitian
ilmiah itu terbukti sebagai sebab memperoleh hasil. Dan sebab qodari
di sini ada yang merupakan cara halal dan ada pula yang haram.
Contoh:
Dengan belajar giat seseorang akan berhasil dalam menempuh UAS (Ujian
Akhir Semester). Ini adalah sebab qodari dan dihalalkan.
Namun ada
pula sebab qodari dan ditempuh dengan cara yang haram. Misalnya
menjalani ujian sambil membawa kepekan (contekan). Ini adalah suatu
bentuk penipuan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّى
“Barangsiapa menipu, maka ia tidak termasuk golonganku.”[21]
Misalnya
lagi, memperoleh harta dengan cara korupsi. Ini adalah cara yang
haram. Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya, Buraidah, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ
“S
iapa
saja yang kami pekerjakan lalu telah kami beri gaji maka semua harta
yang dia dapatkan di luar gaji (dari pekerjaan tersebut, pent) adalah
harta yang berstatus ghulul (baca:korupsi)”.[22]
Kriteria kedua: Berkaitan dengan orang yang mengambil sebab,
yaitu hendaklah ia menyandarkan hatinya pada Allah dan bukan pada
sebab. Hatinya seharusnya merasa tenang dengan menyandarkan hatinya
kepada Allah, dan bukan pada sebab. Di antara tanda seseorang
menyandarkan diri pada sebab adalah di akhir-akhir ketika tidak
berhasil, maka ia pun menyesal.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ
“Barangsiapa menggantungkan diri pada sesuatu, niscaya Allah akan menjadikan dia selalu bergantung pada barang tersebut.”[23]
Artinya, jika ia bergantung pada selain Allah, maka Allah pun akan
berlepas diri darinya dan membuat hatinya tergantung pada selain Allah.
Kriteria ketiga: Berkaitan dengan orang yang mengambil sebab,
yaitu meyakini takdir Allah. Seberapa pun sebab atau usaha yang ia
lakukan maka semua hasilnya tergantung pada takdir Allah (ketentuan
Allah).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
“Allah telah mencatat takdir setiap makhluk sebelum 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.”[24]
Beriman
kepada takdir, inilah landasan kebaikan dan akan membuat seseorang
semakin ridho dengan setiap cobaan. Ibnul Qayyim mengatakan, “Landasan
setiap kebaikan adalah jika engkau tahu bahwa setiap yang Allah
kehendaki pasti terjadi dan setiap yang tidak Allah kehendaki tidak
akan terjadi.” [25] [26]
Tawakkal yang Keliru
Dari penjelasan di atas kita dapat merinci beberapa bentuk tawakkal yang keliru:
- Pertama:
Menyandarkan hati pada Allah, namun tidak melakukan usaha dan mencari
sebab. Perilaku semacam ini berarti mencela sunnatullah sebagaimana
dikatakan oleh Sahl At Tusturi di atas.
- Kedua:
Melakukan usaha, namun enggan menyandarkan diri pada Allah dan
menyandarkan diri pada sebab, maka ini termasuk syirik kecil. Seperti
memakai jimat, agar dilancarkan dalam urusan atau bisnis.
- Ketiga: Sebab yang dilakukan adalah sebab yang haram, maka ini termasuk keharaman. Misalnya, meraih dengan jalan korupsi.
- Keempat:
Meyakini bahwa sebab tersebut memiliki kekuatan sendiri dalam
menentukan hasil, maka ini adalah syirik akbar (syirik besar).
Keyakinan semacam ini berarti telah menyatakan adanya pencipta selain
Allah. Misalnya, memakai pensil ajaib yang diyakini bisa menentukan
jawaban yang benar ketika mengerjakan ujian. Jika diyakini bahwa pensil
tersebut yang menentukan hasil, maka ini termasuk syirik akbar.
Ketika Mendapat Kegagalan
Ketika
itu sudah berusaha dan menyandarkan diri pada Allah, maka ternyata
hasil yang diperoleh tidak sesuai yang diinginkan maka janganlah
terlalu menyesal dan janganlah berkata “seandainya demikian dan
demikian” dalam rangka menentang takdir.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
الْمُؤْمِنُ
الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ
وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ
وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى
فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ
فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
“Mukmin yang
kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang
lemah. Namun, keduanya tetap memiliki kebaikan. Bersemangatlah atas
hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan
engkau lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau
katakan: ‘Seandainya aku lakukan demikian dan demikian.’ Akan tetapi
hendaklah kau katakan: ‘Ini sudah jadi takdir Allah. Setiap apa yang
telah Dia kehendaki pasti terjadi.’ Karena perkataan law (seandainya)
dapat membuka pintu syaithon.”[27]
Demikian sedikit
pembahasan kami tentangt tawakkal. Semoga bermanfaat. Segala puji bagi
Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Footnote :
[1] Lihat Fathul Baari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 11/305, Darul Ma’rifah, 1379.
[2] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 516, Darul Muayyid, cetakan pertama, tahun 1424 H.
[3]
HR. Ahmad, Ibnu Majah, An Nasa-i dalam Al Kubro. Dalam sanad hadits
ini terdapat inqitho’ (terputus) sehingga hadits ini adalah hadits yang
lemah (dho’if). Syaikh Al Albani dalam Dho’if Al Jami’ no. 6372
mengatakan bahwa hadits tersebut dho’if. Namun makna hadits ini shahih
(benar) karena memiliki asal dari ayat al Qur’an dan hadits shahih.
[4] Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 516.
[5] Tafsir Ath Thobari (Jami’ Al Bayan fii Ta’wili Ayil Qur’an), Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath Thobari, 23/46, Dar Hijr.
[6] Tafsir Al Qurtubhi (Al Jaami’ li Ahkamil Qur’an), Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr Al Qurtubhi, 18/161, Mawqi’ Ya’sub.
[7] Fathul Qodir, Asy Syaukani, 7/241, Mawqi’ At Tafasir.
[8]
[9] HR. Bukhari no. 6472 dan Muslim no. 218.
[10] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 517.
[11] Idem.
[12]
HR. Ahmad (1/30), Tirmidzi no. 2344, Ibnu Majah no. 4164, dan Ibnu
Hibban no. 402. Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no.310
mengatakan bahwa hadits ini shahih. Syaikh Muqbil Al Wadi’i dalam Shohih
Al Musnad no. 994 mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[13] Lihat Tuhfatul Ahwadzi bisyarhi Jaami’ At Tirmidzi, 7/7-8, Asy Syamilah
[14] Dalilul Falihin, Ibnu ‘Alan Asy Syafi’i, 1/335, Asy Syamilah
[15]
HR. Ahmad, dari Ibnu ‘Umar. Sanad hadits ini shahih sebagaimana
disebutkan Al ‘Iroqi dalam Takhrij Ahaditsil Ihya’, no. 1581. Dalam
Shahih Al Jaami’ no. 2831, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih.
[16] Fathul Bari, Ibnu Hajar ‘Al Asqolani, 11/305, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379.
[17] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 517.
[18] HR. Muslim dalam Kitab Keutamaan Para Sahabat, Bab Keutamaan Abu Dzar, no. 4520.
[19]
HR. Abu Daud Ath Thoyalisiy dalam musnadnya no. 459. Dikeluarkan pula
oleh Al Haitsamiy dalam Majma’ Az Zawa-id, 3/286 dan Al Hindiy dalam
Kanzul ‘Ummal, 12/34769, 3480.
[20] HR. Ibnu Majah, 2/1018. Lihat
Al Maqosid Al Hasanah, As Sakhowiy hal. 359. [Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini hasan lighoirihi. Lihat Shahih At Targhib
wa At Tarhib no. 1165]
[21] HR. Muslim no. 102, dari Abu Hurairah.
[22]
HR Abu Daud no 2943, Dalam Kaifa hal 11, Syeikh Abdul Muhsin al Abbad
mengatakan, ‘Diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad yang shahih dan
dinilai shahih oleh al Albani’.
[23] HR. Tirmidzi no. 2072. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[24] HR. Muslim no. 2653, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash.
[25] Al Fawaid, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hal. 94, Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, tahun 1425 H.
[26]
Penjelasan ini adalah faedah dari pemaparan guru kami “Ustadz Abu Isa
hafizhohullah” dalam buku beliau Mutiara Faedah Kitab Tauhid, hal.
64-66, Pustaka Muslim, cetakan pertama, 1428 H.
[27] HR. Muslim no. 2664
Referensi :
Gus Rumahsyo
Website Tawakal